Mei 22, 2012

Recidive Pidana ( Pengulangan Tindak Pidana )


PENGULANGAN TINDAK PIDANA
(RECIDIVE)
A. PENGERTIAN RECIDIVE
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi da­lam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang tetap (in krachtvan gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Jadi dalam Recidive, sama halnya dengan Concursus Realis, seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada recidive sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukän terdahulu atau sebelumnya. Recidive merupakan alasan untuk memperkuat pemidana­an.
Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive, yaitu sistem :
1. Recidive umum.
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pida­na. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang di­lakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Dengan tidak ditentukan tenggang waktu pengulangan­nya, maka dalam sistem ini tidak ada daluwarsa recidive.
2. Recidive khusus.
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulang­an merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. RECIDIVE MENURUT KUHP
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak dia­tur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan didalam Buku II ma­upun yang berupa pelanggaran didalam Buku III.
Disamping itu KUHP juga mensyaratkan tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Dengan demikian KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tin­dak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana, baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, dibicarakan berturut-turut dibawah ini.
1. Recidive kejahatan.
Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”.
Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”, dan
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok jenis”.
Ad.a : Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis” diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu Buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), pasal 144 (2), pasal 155 (2), pasal 157 (2), pasal 161 (2), pasal 163 (2), pasal 208 (2), pasal 216 (3), 321 (2), pasal 393 (2) dan pasal 303 bis (2).
Dengan demikian didalam sistem Recidive kejahat­an sejenis ini hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat merupakan alasan pemberatan pidana.
Persyaratan recidive disebutkan dalam masing-ma­sing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya men­syaratkan sebagai berikut :
1). Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis de­ngan kejahatan yang terdahulu;
2). Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan Hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3). Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, pasal 303 bis dan pasal 393 syarat initidak ada);
4). Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu ter­tentu yang disebut dalam pasal-pasal ybs., yaitu :
a). 2 tahun sejak adanya keputusan Hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, pasal 144, pasal 208, pasal 216, pasal 303 bis dan pasal 321), atau
b). 5 tahun sejak adanya keputusan Hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, pasal 157, pasal 161, pasal 163 dan pasal 393).
Dengan adanya syarat keputusan Hakim yang berupa pemidanaan dan mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde) seperti tersebut pada syarat kedua diatas, maka tidak ada recidive dalam hal :
a). Keputusan Hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan, misalnya keputusan yang berupa “pembe­basan dari segala tuduhan” (vrijspraak) berdasar pasal 313 RIB, dan yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (ontslag van alle rechts vervol­ging) berdasar pasal 314 RIB; (Sekarang pasal l91 (2) KUHAP).
b). Keputusan Hakim tersebut masih dapat diubah dengan upaya-upaya Hukum yang berlaku (misalnya dengan upaya banding atau kasasi);
c). Keputusan Hakim tersebut berupa “penetapan­-penetapan” (beschikking) misalnya :
- Keputusan yang menyatakan tentang tidak berwenangnya Hakim untuk memeriksa perkara ybs. (pasal 247 dan pasal 252 RIB),
- Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan keja­hatan (pasal 250 ayat 3 RIB),
- Tidak diterimanya perkara karena penuntutan­nya sudah daluwarsa.
Pada syarat keempat diatas ditegaskan bahwa saat pengulangan dihitung sejak adanya putusan Hakim yang berkekuatan tetap.
Jadi tidak disyaratkan apakah jenis pidana yang dijatuhkan oleh Hakim sebelumnya dan tidak pula disyaratkan apakah pidana yang dijatuhkan itu sudah dijalankan atau belum baik seluruhnya atau sebagian.
Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang sejenis ini nampak berbeda-beda, yaitu :
a). Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelarangan atau pencabutan hak untuk menjalankan mata penca­hariannya (untuk delik-delik yang pengulangannya di­lakukan pada waktu menjalankan pencahariannya);
b). Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam pasal 216); pasal 216 ayat 3 hanya me­nyebut “pidana” saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang disebut dalam pasal 216 ayat 1 dapat ditambah sepertiga;
c). Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
Ad. b Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu “kelompok jenis” diatur dalam pasal 486, pasal 487 dan pasal 488 KUHP.
Adapun persyaratan recidive menürut ketentuan pasal­pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1). Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang perta­ma atau yang terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
a). kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya mengenai kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan, misalnya :
- pemalsuan mata uang (pasal 244 - pasal 248), pemalsuan surat(pasal 263- pasal 264), pencurian (pasal 362, pasal 363, pasal 365) pemerasan (368), pengancaman (pasal 369), pengge­Iapan (pasal372, pasal 374, pasal 375), penipuan (pasal 378), keja­hatan jabatan (pasal 415, 417, pasal 425, pasal 432), Penadah­an (pasal 480, pasal481.);
b). Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pa­da umumnya mengenai kejahatan terhadap orang, misalnya :
- penyerangan dan makar terhadap Kepala Ne­gara (pasal 131, pasal140,141), pembunuhan biasa dan berencana (pasal 338, pasal 339,pasal 340), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342), euthanasia (pasal 344), abortus (pasal 347, pasal 348), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353,pasal 354, pasal 355), kejahatan pela­yaran yang berupa pembajakan (pasal 438- pasal 443) dan insubordinasi (pasal 459-pasal 460);
c)Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pa­da umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/per­cetakan, misalnya :
- penghinaan terhadap Presiden/Wakil (pasal 134- pasal 137) penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (pasal 142- pasal144), penghinaan terhadap penguasa/ba­dan umum (pasal 207,pasal 208), penghinaan terhadap orang pada umumnya (pasal 310-pasal 321), dan kejahat­an penerbitan/percetakan (pasal 483, pasal484).
Dengan adanya kelompok jenis kejahatan-kejahatan seperti dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila seseorang yang melakukan pencurian biasa (pasal 362) kemudian melakukan tindak pidana lagi yang berupa penganiayaan (pasal 351) ataupun peng­hinaan (pasal 310), karena masing-masing tindak pidana itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda­-beda.
Baru dapat dikatakan ada recidive apabila masing-masing tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam satu ke­lompok jenis yang sama, misalnya setelah melakukan pencurian (pasal 362) kemudian melakukan penggelapan (pasal 372) atau penipuan (pasal 378), karena semuanya masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang tersebut dalam pasal 486 KUHP.
Disamping itu perlu pula diperhatikan bahwa kejahatan-­kejahatan yang disebut dalam kelompok pasal 486, pasal 487 dan pasal 488 KUHP itu hanyalah jenis kejahatan-kejahatan tertentu saja.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasuk­kan sebagai alasan untuk adanya recidive, misalnya pen­curian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal 373), penipuan ringan (pasal 379) dan penadahan ringan (pasal 482) tidak dimasukkan dalam kelompok pasal 486 KUHP. Begitu pula penganiayaan ringan (pasal 352) tidak dima­sukkan dalam kelompok pasal 487 KUHP. Tidak dimasukkannya kejahatan-kejahatan ringan sebagai alasan untukrecidive sebenarnya dapat dimaklumi, namun anehnya didalam kelompok kejahatan pasal 488 KUHP dimasukkan penghinaan ringan (pasal 315).
Disamping itu menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam kelompok kejahatan terhadap harta benda dalam pasal 486 KUHP, tidak dimasukkan beberapa delik dalam KUHP yang sekarang telah dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi oleh U.U. No.3 Tahun 1971, yaitu antara lain penyuapan aktif (pasal 209, pasal 210), penyuapan pasif (pasal 418, pasal 419, pasal 420), pemalsuan buku/daftar administrasi oleh seorang pejabat (pasal 416), pejabat yang menguntungkan diri sendiri secara tidak syah (pasal 423, pasal 435) dan perbuatan curang/penipuan dalam masa perang (pasal 387, pasal 388). Tindak pidana korupsi yang disebut dalam kelompok pasal 486 KUHP hanyalah pasal-pasal 415, 417 dan 425.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa didalam pasal 487 (kelompok jenis kejahatan terhadap pribadi orang) tidak disebutkan delik makar dalam pasal 104 dan semua delik kesusilaan (pasal 281-303) misalnya perkosaan (pasal 285), perdagangan wanita (pasal 297), mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan hamilnya dapat digu­gurkan (pasal 299) dan perjudian (pasal 303).
Dirasakan sangat janggal apabila terhadap pasal 303 bis (yang tadinya merupakan jenis pelanggaran dalam pasal 542) ada ketentuan pengulangannya (lihat recidive keja­hatan-kejahatan sejenis Ad. a), tetapi terhadap perjudian didalam pasal 303 tidak ada ketentuan recidivenya. Sedangkan VOS meminta perhatian dengan tidak disebutnya pasal 356 (yaitu bentuk terkualifikasi dari delik-delik dalam pasal 351, pasal 353, pasal 354 dan pasal 355) dan pasal 349 (yaitu bentuk terkualifikasi dari delik-delik abortus dalam pasal 346- pasal 348). Perlu pula dicatat bahwa delik abortus dalam pasal 346 tidak disebut didalam kelompok pasal 487 KUHP.
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem KUHP tidak semua keja­hatan berat dapat dijadikan sebagai alasanrecidive/pe­ngulangan (alasan pemberatan pidana).
2). Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan Hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mem­punyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa penetapan-penetapan (beschikking).
3). Pidana yang pernah dijatuhkan Hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
Dengan adanya syarat ketiga ini maka ti­dak ada alasan recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4). Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
a). belum lewat 5 tahun
- Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
- Sejak pidana tersebut (penjara) sama sekali telah dihapuskan, atau
b). Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewe­nangan menjalankan pidana (penjara) yang terdahulu.
Misal pada tahun 1972, A yang dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan (pasal 338) dijatuhi pidana penjara selama 8 tahun.
Ada beberapa kemungkinan tenggang waktu pengulangan untuk kejahatan yang berikutnya, antara lain :
- Apabila A menjalani seluruhnya, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum Iewat tahun 1985 (perhitungan 1972 + 8 + 5 )
- Apabila A setelah menjalani sebagian, misal 2 tahun, mendapat grasi atau pelepasan bersyarat pada tahun 1974, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat tahun 1979 (perhitungan 1972+2+5).
- Apabila A setelah menjalani sebagian, misal 2 tahun pada tahun 1974 melarikan diri, maka tenggang waktu pengulangannya adalah sebelum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu.
Berdasarkan pasal 85 (2) KUHP tenggang waktu daluwarsanya dihitung sejak terdakwa melarikan din.
Jadi tenggang waktu recidivenya adalah sebe­lum lewat tahun 1990 yaitu dihitung mulai tahun 1974 ditambah 16 tahun tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana untuk pasal 338 lihat pasal 84 KUHP).
Dari contoh diatas dapatlah disimpulkan bahwa tenggang waktu recidivedapat lebih dari 5 tahun.
Adapun pemberatan pidana untuk recidive masing-­masing kelompok jenis kejahatan seperti dikemukakan diatas pada prinsipnya dipakai sistem pemberatan/penam­bahan sepertiga dari maximum ancaman pidana untuk kejahatan yang diulangi.
Perlu diperhatikan bahwa untuk kejahatan-kejahatan dalam kelompok jenis pasal 486 dan pasal 487, yang dapat diperberat hanyalah ancaman pidana pokok yang berupa pidana penjara, sedangkan untuk kelompok pasal 488 ti­dak hanya pidana penjara karena dalam pasal tersebut hanya digunakan istilah “pidana” saja sehingga semua jenis pidana yang disebut dalam masing-masing pasal yang masuk dalam kelompok pasal 488 tersebut dapat diperberat sepertiga.
2. Recidive Pelanggaran.
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap
a. Pasal 489 kenakalan terhadap orang atau barang;
b. Pasal 492 masuk dimuka umum merintangi Ialu tin­tas/mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain;
e. Pasal 495 memasang penangkap/alat untuk membunuh binátang buas tanpa izin;
d. Pasal 501 menjual makanan/minuman yang di­palsu, busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati;
e. Pasal 512 melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewenangan atau melampaui batas kewenangannya;
f. Pasal 516 mengusahakan tempat bermalam tanpa re­gister/catatan tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat yang memintanya;
g. Pasal 517 membeli dan sebagairiya barang-barang anggota militer tanpa izin;
h. Pasal 530 petugas agama yang melakukan upacara perkawinan sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan dimuka pejabat catatan sipil/B.S.) telah dilakukan;
l. Pasal 536 dalam keadaan mabuk berada dijalan umum;
j. Pasal 540 mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau menyakitinya;
k. Pasal 541 menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi;
l. Pasal 544 mengadakan sabungan ayam/jangkrik di jalan umum tanpa izin;
m. Pasal 545 melakukan pencaharian sebagai tukang ramal;
n. Pasal 549 membiarkan ternaknya berjalan dikebun/tanah yang terlarang.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya merisyaratkan sebagai berikut :
a. pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu. Jadi baru dapat dikatakan ada recidive pelanggaran apabila yang ber­sangkutan melanggar pasal yang sama.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa pelanggaran terdahulu terhadap pasal 492 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran pasal 536 dan sebaliknya; demikian pula pelanggaran terdahulu terhadap pasal 302 (penganiayaan hewan ringari) dapat merupakan alasan necidive untuk pelanggaran pasal 540 dan pasal541.
b. harus sudah ada putusan Hakim berupa peinidanaan yang telah berkekuatan tetap untuk pelangganan yang yang terdahulu;
e. tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan peinidanaan yang berkeku­atan tetap, yaitu
- belum Iewat 1 tahun untuk pelanggaran-pelangga­ran pasal 489, pasal 492, pasal495, pasal 536, pasal 540, pasal 541, pasal 544, pasal 545, dan pasal 549;
- belum Iewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal­-pasal 501, pasal 512, 516, pasal 517 dan pasal 530.
Berdasar syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
Menarik untuk diperhatikan bahwa khusus didalam pasal 536 (mabuk dijalan umum), disamping mengatur persyaratan pengulangan seperti dikemukakan diatas, diatur pula pengulangan yang kedua kali dan seterusnya.
Mengenai pemberatan pidana untuk recidive pelang­garan disebutkan dalam masing-masing pasal pelanggaran yang bersangkutan. Jadi tidak ada satu ketentuan umum mengenai sistem pemberatan pidananya. Namun demikian pada umumnya mengikuti salah satu sistem pemberatan pidana sebagai berikut:
a. Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.
b. Pidana (denda/kurungan) dilipatkan dua kali.
C. RECIDIVE DILUAR KUHP
1. Recidive kejahatan diluar KUHP terdapat didalam pasal 39 Undang-undang Narkotika (UU No.9 Tahun 1976) yang berbunyi sebagai berikut:
a. Pidana penjana yang ditentukan dalam pasal 16 ayat 1 sampai dengan ayat 7 dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana ketika melakukan kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun sejak men­jalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.
b. Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1 diancam dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.
Dari rumusan diatas terlihat, bahwa UU Narkotika me­nganut juga sistem recidivekhusus yaitu, baik tindak pidana yang diulangi maupun tenggang waktu pengulangannya sudah tertentu.
Adapun sistem pemberatan pidananya, ialah:
- Untuk pidana penjara : ditambah sepertiga dari ancaman maximum.
- Untuk pidana denda : dilipatkan dua kali.

2. Recidive pelanggaran diluar KUHP terdapat antara lain didalam:
a. Pasal 11 (5) Ordonansi Perlindungan Cagar Alam (Natuurbesehermingsondonnantie) S. 1941 No.167;
b. Pasal 18 (2) Undang-undang Kerja No.12 Tahun 1948 jo UU No.1 tahun 1951;
c. Pasal 32 (2) dan 33 (2) Undang-undang Lalu Lin­tas dan Angkutan Jalan Raya No.3 Tahun 1965.
Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive khusus.
Tenggang waktu pengulangannya ada yang 1 tahun dan ada yang 2 tahun; sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh, sepertiga dan ada yang dilipat­gandakan (dikalikan dua).